PLENTHONG

Oleh Yulie Purwaningsih, S. Pd. (Guru Bahsa Indonesia)

 

Matahari belum lagi menampakkan sinarnya ketika tiba-tiba terdengar ketukan di pintu depan. Tok…tok….tok. Suara itu makin keras. Cepat kuletakkan piring-piring  kotor yang hendak kucuci di atas meja. Kuremas celemek yang kukenakan sekenanya sekedar mengeringkan tanganku yang basah oleh air cucian piring, sembari berjalan menuju pintu depan.Cepat kubuka pintu yang kuncinya sejak semalam tergantung di pintu.

“Bu, anu, Bu….Eh itu….si anu….”

“Tenang dulu Bude Harni, ada apa? Bicara yang jelas. Masak dari tadi anu…anu. Ada apa?”

“Ini, Bu. Si Surti. Eh, maksud saya suami si Surti. Ibu sudah tahu, belum?”

“Tahu apa, ta. Bicara yang jelas. Wah Bude Harni ini kok pagi-pagi sudah bikin orang bingung saja. Emang ada apa dengan suami si Surti?”

“Anu, Bu. Suami si Surti kecemplung sumur,” kata Bude Harni dengan napas tersengal-sengal, seperti orang habis lari maraton lima ratus meter saja.

“Kecemplung sumur? Terus gimana keadaannya?”

“Tidak tahu, Bu. Lebih baik Ibu lihat sendiri saja. Itu orang-orang juga pada ke rumah si Surti. Tadi saya lihat polisi juga ada, Bu. Sudah, ya, Bu. Saya pamit dulu. Saya mau siapkan sarapan buat Siti.”

Tanpa memedulikan ekspresiku yang masih kebingungan bercampur kaget, Bude Harni pun bergegas meninggalkanku seorang diri. Tak ingin kehilangan banyak waktu, kupanggil putriku yang baru selesai menunaikan sembahyang subuh. Setelah kuceritakan semua kejadian yang barusan kudengar dari Bude Harni, aku pun mengajaknya bersiap-siap untuk pergi ke rumah  Surti.

Surti, begitulah setiap hari kami menyebutnya. Panggilan akrab yang kami berikan kepada pembantuku yang baru. Mungkin tidak pas juga sih kalau disebut baru karena sudah tiga bulan ia bekerja sebagai pembantu di rumahku. Sebenarnya kami tidak begitu membutuhkan tenaganya. Bagaimana tidak, sejak  Imah, pembantuku yang lama, berpamitan  dua tahun yang lalu, akhirnya aku mulai terbiasa untuk menyelesaikan segala tetek-bengek urusan pekerjaan rumah-tanggaku sendiri. Semuanya sudah bisa kuselesaikan walau mungkin tidak sesempurna jika ada pembantu. Maklumlah sebagai ibu rumah-tangga dan sekaligus seorang guru, rasanya terlalu banyak pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku.

Aku ingat betul bagaimana awalnya  Surti bekerja sebagai pembantu di rumahku. Ketika itu aku berbelanja ke warung sebelah rumah. Yu Darsi pemilik warung itu cerita kepadaku, katanya Surti minta dicarikan pekerjaan apa saja. Lalu Yu Darsi merayuku agar aku mempekerjakan Surti. Maklumlah, sudah sebulan ini suami Surti tidak bekerja lagi. Bukan karena ia tidak punya pekerjaan tapi lebih tepatnya karena kebiasaan lamanya kumat lagi. Ya, kata orang dia punya ilmu macan. Kalau lagi kumat, dia malas-malasan, nggereng seperti harimau, bahkan melompat-lompat di atas lemari dan rak piring. Terang saja piring yang hanya beberapa buah itu pecah semua. Pernah beberapa kali dia pergi dari rumah. Keluarganya kebingungan. Seluruh sanak famili ikut mencarinya ke mana-mana. Akhirnya ada tetangga yang kebetulan keliling  mencari barang rongsokan di pesisir pantai Wediombo melihatnya. Lalu diajaknya Plenthong, suami Surti tersebut pulang bersamanya.

Akhirnya kuiyakan saja permintaan dari Yu Darsi itu. Kuniatkan meringankan beban hidup Surti. Sejak itu mulailah ia bekerja di rumahku.  Hari pertama ia  bekerja benar-benar menguji kesabaranku. Segala  sesuatu yang dikerjakannya harus menunggu perintah dan petunjukku. Tumpukan pakaian kotor  akan tetap teronggok di tempatnya jika tak kuperintahkan untuk mencucinya. Begitu pun juga dengan kertas-kertas berserakan di lantai, piring kotor di meja, dan masih seabrek pekerjaan lainnya tak akan dikerjakannya bila tak diperintahkan. Pernah suatu saat kuajak membersihkan kebun belakang rumah. Kuajak dia mencabuti rumput yang sudah setinggi lutut orang dewasa. Karena terlalu bersemangat aku sampai lupa tak memberi instruksi padanya. Orang desa pasti sudah terbiasa dan tak asing lagi dengan pekerjaan seperti ini, pikirku waktu itu. Sungguh di luar dugaanku, ternyata dia tidak seperti yang ada dalam anganku. Sudah hampir satu jam aku mencabuti rumput-rumput itu, tiga gundukan besar rumput sudah berhasil aku kumpulkan. Surti belum berhasil mengumpulkan satu gundukan pun. Baru beberapa rumput kecil yang sudah dicabutinya, sambil tangannya kopat-kapit mengusir nyamuk yang mengerubutinya karena merasa tempat tinggalnya tergusur.

Hari-hari pun berlalu dengan kehadiran Surti di tengah-tengah kami. Kadang kami merasa sayang juga terhadapnya. Orangnya penurut, tak suka membantah, dan pendiam. Saking pendiamnya sering dia tak menjawab ketika kami memanggilnya. Entah benar-benar tak mendengar atau memang tabiatnya begitu, atau mungkin juga takut ada instruksi tambahan lagi. Yang jelas, kami harus ekstra sabar untuk mengulang dan menahan kemarahan.

Aku jadi punya kebiasaan baru. Sebelum berangkat ke kantor aku harus memberitahu terlebih dahulu semua pekerjaan yang harus dikerjakan Surti. Atau bahkan ketika ia terlambat datang, aku tulis pesan di secarik kertas tugas-tugas yang harus dikerjakannya, dengan harapan sepulang dari kantor nanti semua pekerjaan yang aku tulis tadi sudah beres. Namun, tak jarang aku kecewa karena tidak semua tugas yang kutulis dikerjakannya. Mungkin dia lupa, atau buru-buru pulang karena kepikiran anaknya yang masih paud belum dibuatkan makan siang.

Sebenarnya aku kasihan juga pada Surti. Sering ia berangkat kerja dengan perut kosong. Memang sudah tersedia nasi beserta lauknya di meja makan sebelum aku berangkat ke kantor. Kadang sempat juga aku membikin kue untuk bekal anak-anakku sekolah. Selalu kupesan Surti untuk menganggapnya sebagai rumah sendiri agar ia tidak canggung-canggung makan atau apapun tanpa menunggu aku menawarinya. Namun selalu saja dia tidak mau. Basa-basinya sebagai ciri orang Jawa masih sangat lekat. Aku sangat maklum. Biasanya aku bungkuskan makanan untuk dibawanya pulang buat oleh-oleh Enggar, anaknya yang dititipkan pada neneknya.

Tiba di rumah Surti sudah banyak orang berkerumun. Polisi juga masih ada. Aku menerobos di antara kerumunan orang. Kugenggam erat tangan anakku agar dia tak terjatuh. Maklum halaman rumah Surti becek,  batu-batu  berlumut yang terguyur hujan semalam sangat licin. Dengan sigap putriku Aisy mengikuti langkahku.

“Mangga, silakan, Bu!”  Surti menyilakanku masuk. Dia menyalami lalu menubrukku. Kubiarkan tangisnya pecah dipelukanku agar dia merasa lega. Sesenggukan dia.

“Yang sabar, Surti. Kita serahkan semuanya pada Gusti Allah. Semua sudah diaturnya. Kita sebagai hamba-Nya tinggal menjalani.” Kucoba menenangkannya.

“Inggih, Bu!”

Setelah beberapa saat  Surti melepaskan segala kesedihannya dalam pelukanku, kami pun duduk di tikar. Kulihat suami  Surti tidur di Lincak bambu yang sebelah kakinya sudah dimakan teter. Rupanya seisi rumah itu pun paham akan pertanyaan yang belum sempat aku lontarkan. Tanpa kuminta Mbok Minem menjelaskan kronologi kejadiannya. Sudah satu minggu ini Plenthong selalu pergi tanpa pamit, tak tentu arah tujuannya. Terakhir kemarin sore dipergoki oleh tetangganya di makam kere. Entah apa yang diperbuatnya, yang jelas akhir-akhir ini dia tidak betah di rumah. Kalau ditanya istrinya katanya dia takut. Di rumah selalu diganggu oleh sosok tinggi besar, kekar, dan hitam. Bahkan menurut cerita Plenthong tempo hari makhluk itu mengancam hendak membunuhnya kalau dia tidak mau mengikutinya. Alhasil Plenthong jadi seperti orang gila. Suka berteriak-teriak sendiri, ketakutan di siang bolong, dan bertingkah yang aneh-aneh. Dua hari sebelumnya ketika ditinggal Surti Enggar yang lagi asyik main di dekatnya tiba-tiba lehernya dicengkeram, hendak diterkamnya. Untung waktu itu Mbok Minem melihatnya. Ditolongnya Enggar dan cepat dibawa menjauh dari bapaknya. Plenthong lalu mencakar-cakar di lantai yang masih berupa tanah. Matanya memerah, dia mengerang-erang seperti harimau. Mbok Minem dan Enggar segera menjauh. Sejak itu Surti tidak mau meninggalkan Enggar sendirian di rumah. Memang, sudah lima hari ini Surti tak masuk kerja. Aku agak keteteran juga, namun mendengar ceritanya aku kasihan juga pada keluarga Surti.

Tadi malam seperti malam-malam sebelumnya, Mbok Minem  dan suaminya pun tak lupa mengunci semua pintu. Bahkan pintu-pintunya diberi palang  kayu dari dalam agar Plenthong tak keluar rumah. Namun, ketika seisi rumah tengah terlelap, tiba-tiba Kang Parmin mendengar suara orang laki-laki menangis. Dicarinya anaknya, Plenthong,  di lincak tempat dia tidur. Tak ada. Naluri kebapakannya timbul, ia cari keluar rumah, ke kebon belakang rumah, ke tegalan di samping rumahnya juga tak ada. Suara tangisan itu kian jelas terdengar. Diikutinya suara itu. Hanya dengan berbekal lampu senter ia terus mencari dalam kegelapan. Setelah sekian lama mencari  tak mendapatkan hasil, akhirnya ia membangunkan Mbok Minem, istrinya. Diajaknya Mbok Minem mencari anaknya. Segala rasa berkecamuk di dada Mbok Minem waktu itu. Rasa sedih, was-was, kawatir, dan cemas menggelayutinya.  Di tengah gelap-gulita ia berlari ke sana-kemari. Tak dihiraukannya lagi rasa takut yang biasanya selalu membayanginya. Disibakkannya kebaya lusuh yang dipakainya. Tanpa terasa pipinya pun basah oleh air mata. Namun, ia tetap mencoba menguatkan dirinya. Ia tetap mencari anaknya.

“Thole….thole….kamu di mana, le?” Suara Mbok Minem  di antara kerik jengkerik. Dinginnya angin malam tak dipedulikannya lagi.  Tiba-tiba dari dalam sumur di samping rumahnya terdengar tangisan laki-laki. Ya, suara yang tidak asing bagi Mbok Minem dan Kang Parmin. Itu suara si Plenthong, batinnya. Cepat mereka berdua berlari tergopoh-gopoh ke arah sumur. Ternyata si Plenthong menangis di dalam sumur. Dilemparkannya sarung Kang Parmin ke dalam sumur.

“Pakailah sarung ini, le!” seru Kang Parmin. Dilemparkannya sarung yang ia pakai secepat kilat ke dalam sumur.

“Iya, Pak.”

“Bertahanlah, le. Bapak mau cari pertolongan untukmu.”

Setelah lari ke sana-kemari sambil teriak-teriak minta tolong, akhirnya berdatanganlah para tetangga. Ada yang membawa tangga, ada yang membawa tambang, dan nada pula yang sibuk menyiapkan petromak. Bapak-bapak berlarian, ibu-ibu ada yang berbisik, menangis, anak-anak ketakutan sambil memegangi baju ibu-ibu mereka, ada pula yang berjongkok saja melipat tubuhnya rapat-rapat, seakan menyembunyikannya dari dingin angin malam.  Sungguh seperti pasar malam suasana malam itu. Dimasukkannya tangga ke dalam sumur. Terang saja tangga tidak bisa menjangkau karena sumur lumayan dalam,  25m. Akhirnya tangga dikeluarkan lagi dari dalam sumur. Jadilah tiga tangga disambung dengan tali. Setelah dirasa cukup kuat, dimasukkannya lagi ke dalam sumur. Dengan bantuan para tetangga, Plenthong berhasil dikeluarkan dari sumur. Cepat-cepat digotongnya masuk ke dalam rumah. Badannya yang masih basah menggigil kedinginan. Ditidurkannya di atas lincak bambu, di atas bantal yang sarungnya berbau tengik. Mungkin sudah sebulan tak pernah dicuci. Lalu orang-orang sibuk, ada yang mengurutkan minyak kayu putih di sekujur tubuh Plenthong, ada yang memijit, ada yang mengelus rambutnya, ada yang mengeringkannya, dan ada pula yang berbisik-bisik saja, bahkan banyak yang mendekat walau tak memberi bantuan apapun. Seolah mereka ingin memastikan bahwa Plenthong masih hidup. Ya, Plenthong yang kecemplung atau lebih tepatnya nyemplung sumur masih tetap hidup, tanpa ada luka sedikit pun di tubuhnya. Suatu hal yang di luar logika manusia pada umumnya. Apa yang terjadi? Kenapa bisa begitu? Ilmu apa yang dimiliki Plenthong? Berbagai pertanyaan tanpa jawaban pun kemudian bermunculan. Semakin ramai orang berbisik-bisik.

Berita pun menyebar ke seluruh pelosok desa. Orang berdatangan semakin banyak. Rumah Mbok Minem mulai sesak. Polisi sibuk memberikan pertanyaan pada orang-orang. Bahkan mereka yang tidak tahu pasti kejadiannya pun cas cis cus memberikan keterangan, tentunya menurut versi mereka masing-masing. Petugas puskesmas tak mau ketinggalan. Tak mau kalah para wartawan pun sibuk memotret dan mencari keterangan pada orang-orang.    Seisi kampung menjadi gempar oleh berita tentang si Plenthong. Kabar si PLenthong yang nyemplung sumur dan selamat pun jadi hot line pagi itu.

Setelah kurasa cukup ngobrol dengan keluarga Surti dan tahu kondisi Plenthong, kuputuskan untuk berpamitan. Kudekati Surti, kupesan agar dia untuk sementara waktu mengawasi suaminya saja, tak perlu bekerja dulu. Kuselipkan di saku bajunya lima lembar uang ratusan ribu.

“Gunakan ini untuk belanja keperluanmu sehari-hari.”

“Terima kasih, bu. Terima kasih. Maaf, saya selalu ngrepotin ibu saja.”

“Tidak apa-apa, Surti. Tak perlu merasa bersalah begitu. Semua sudah ada yang mengatur. Kamu yang sabar, ya! Kalau ada apa-apa jangan sungkan-sungkan datanglah pada ibu. Sudah, ibu pamit dulu, ya.”

Sepekan sejak kejadian itu Surti sudah masuk kerja lagi. Tapi kali ini ia tidak datang sendirian., diajaknya Enggar ke rumahku. Surti kawatir jika Enggar bersama bapaknya di rumah malah tidak aman.Konon kabarnya Plenthong semakin tidak waras. Perilakunya makin aneh saja. Ia selalu menjerit-jerit ketakutan. Bayangan sosok hitam kekar itu mengikutinya terus. Segala usaha untuk mengusir sosok menakutkan itu telah dilakukan oleh keluarganya, namun tetap sia-sia. Lima orang pintar telah dimintai tolong untuk mengobati Plenthong. Hasil jerih payah Surti yang tidak seberapa telah ludes untuk membeli tetek bengek yang diminta oleh orang pintar itu. Kang Parmin dan Mbok Minem tidak mau tahu soal biaya pengobatan anaknya. Kata orang, Kang Parmin memang pelitnya minta ampun. Bahkan untuk sekedar makan sendiri saja sayang. Surtilah tulang punggung keluarga itu. Padahal ia hanya seorang menantu saja. Aku jadi maklum jika ketika bekerja ia tidak bisa fokus, mudah lupa, dan sering bengong. Mungkin terlalu berat yang harus ia tanggung. Selain biaya kebutuhan rumah tangga dan kelakuan suaminya, tagihan listrik dan air yang sudah tiga bulan menunggak pun membuat kepalanya seakan mau pecah. Tidak berhenti sampai di situ, kelakuan Mbok Minem pun juga bikin Surti makin pusing tujuh keliling. Bagaimana tidak, oleh-oleh dari para tetangga yang datang ketika menjenguk Plenthong, seperti gula, teh, dan kue-kue disembunyikan di lemari oleh Mbok Minem. Surti tidak tahu menahu. Jangankan untuk menikmatinya, sekedar menggunakannya untuk keperluan menyuguh para tamu yang datang pun tidak boleh, bahkan ia harus membeli lagi gula, teh, dan makanan kecil.

Sore hari sepulang sekolah aku berniat menyempatkan diri pergi ke rumah Surti, sekedar ingin tahu bagaimana kondisi Plenthong. Kebetulan sore ini tidak ada jam tambahan untuk kelas IX. Pekerjaan di rumah sepertinya juga sudah beres semua. Sekedar oleh-oleh buat Enggar kubeli beberapa biskuit kesukaanya, mie, telur, dan bumbu dapur buat Surti. Tiba di halaman rumah Surti terlihat sepi. Kuketuk pintu beberapa kali, namun tetap tak  ada jawaban. Beruntung ada tetangga yang melihat. Katanya Surti sedang mencari kayu bakar  di kebun belakang rumah. Dipanggilnya Surti. Tak lama kemudian Surti muncul dengan tergopoh-gopoh. Keringatnya menganak sungai. Rupanya ia terlalu bersemangat mengumpulkan kayu bakar untuk dijual. Setelah basa-basi sebentar tetangga itu lalu mohon diri.

Plenthong tiduran di lincak bambunya yang reyot . Kuhampiri dia, sudah bisa diajak ngobrol. Lalu kutanya apa yang dirasakannya, ia hanya senyum-senyum saja.

“Ah, Ibu, kayak orang sakit saja. Saya ini ndak apa-apa lho, Bu!”

“Kalau gak sakit kenapa kamu tiduran terus, Plenthong? Semangat dong, bantu istrimu bekerja. Kasihan Surti dan anakmu!”

“Iya, Bu.”

“Ya, sudah. Begini saja, besok kamu ke rumah Ibu. Di kebun belakang banyak ranting kering. Kamu kumpulkan dan kaujual ke pasar. Uangnya bisa kaugunakan nambah belanja istrimu.”

“Inggih, Bu!”

“Ngomong-ngomong kamu kok bisa kecemplung sumur malam-malam itu gimana, ta Thong?”

“Anu, Bu. Waktu itu saya didatangi orang berjubah putih, tinggi besar, berjenggot panjang. Orang itu lantas mengajakku berjalan mengikutinya. Jalannya halus dan indah banget, Bu. Di tepi jalan aneka bunga warna-warni. Saya sangat senang sekali waktu itu. Saya di ajaknya ke sebuah istana yang megah. Bangunannya terbuat dari emas. Tiba di sana langsung disambut oleh pelayan yang cantik-cantik. Mereka menyuguhkan hidangan berbagai makanan yang lezat. Setelah makan dengan didampingi seorang putri saya diantar ke kamar. Saya disuruh tidur di ranjang yang empuk. Kelambunya putih terbuat dari sutra. Ketika terbangun saya baru sadar bahwa saya telah berada di dalam sumur yang penuh air dan gelap sekali. Saya takut dan bingung makanya saya menangis, Bu,” jelas Plenthong dengan gamblang.

“Ealaaaah….jadi begitu ceritanya. Pantas saja tubuhmu tidak terluka sama sekali. Rupanya kamu tidak nyemplung sendiri, ta Thong.”

“Lha tidak, Bu. Saya ini masih waras,” jawabnya sambil tersenyum malu-malu. Wajahnya  mulai mencair, sudah tidak kaku lagi.

Tiga hari sejak kedatanganku ke rumah Surti, kudengar kabar bahwa Plenthong kumat lagi. Kali ini keluarganya membawa Plenthong berobat pada seorang tabib. Selain bisa mengobati berbagai penyakit konon ia juga bisa membaca keadaan seseorang. Menurut beliau sebenarnya dulu Plenthong belajar banyak ilmu kanuragan. Ia bisa menyeberangi lautan, bisa terbang dan menghilang, kebal senjata tajam, bahkan bisa berubah wujud menjadi harimau dan ular. Namun hamper semua ilmunya lenyap ketika ia sakit dan diobati oleh orang pintar. Orang itulah yang justru mengambil ilmunya yang baik-baik, tinggal ilmu macan dan ular yang masih tersisa. Karena itulah sekarang ini Plenthong sering berperilaku seperti macan dan ular.

Mengingat kondisi Plenthong yang semakin hari semakin menjadi, Surti sudah benar-benar tidak betah lagi tinggal di rumahnya sendiri. Kali ini tekadnya sudah bulat. Ia ingin minggat, pulang ke rumah orang tuanya di Brebes. Terlebih lagi mertuanya, Mbok Minem setiap hari marah-marah kepadanya. Kerap Enggar juga menjadi  sasaran kemarahan Mbok Minem jika Surti tak mampu memberi uang belanja pada Mbok Minem. Segala usaha dan jerih payahnya selama ini tak dihargai sama sekali.

Segala perbekalan telah dipersiapkannya. Beberapa baju dan sekedar makanan buat perjalanan dimasukkannya dalam tas kumal. Selepas menunaikan shalat subuh ia mengajak Enggar keluar dari rumahnya.  Ia berjalan kaki sekitar satu kilometer menuju jalan beraspal. Setelah itu ia baru bisa naik bus. Ia harus tiba di tempat itu tepat waktu karena bus yang akan ia tumpangi lewat pukul lima. Jika ia tertinggal, ia harus menunggu bus berikutnya satu jam lagi. Tak berapa lama kemudian bus yang ia tunggu pun datang. Ia mendapat tempat duduk paling belakang. Derit pintu bus yang berkarat di sana-sini seolah mengucapkan selamat tinggal. Selamat tinggal untuk kampung yang sudah akrab dengannya selama sepuluh tahun. Tak terasa air mata menetes membasahi pipi Surti. Enggar hanya melihat saja kepada emaknya. Bocah kecil yang masih kedinginan itu tak berani bertanya kepada emaknya. Entah apa yang ada di benak Surti. Yang jelas ia sudah terlalu lelah menjalani hidupnya selama ini. Ia ingin mengubah keadaan hidupnya demi masa depan Enggar, anak semata wayangnya. Rencananya ia mampir dulu di Brebes untuk beberapa hari, menitipkan anaknya pada simboknya. Lalu ia akan pergi ke Jakarta mencari pekerjaan. Mungkin di sana masih ada harapan untuknya. Harapan untuk meraih mimpi-mimpinya yang telah terlindas oleh kejamnya zaman. Semoga secercah mentari kan hadir untuknya di pagi hari.